BAB III
STUDI KASUS
1.1 PEMBANGUNAN PABRIK DIATAS RTH
Kota Bandar Lampung adalah sebuah kota di Indonesia sekaligus ibukota dan kota terbesar di Provinsi Lampung. Bandar Lampung juga merupakan kota terbesar dan terpadat ketiga di Pulau Sumatera setelah Medan dan Palembang menurut jumlah penduduk, serta termasuk salah satu kota besar di Indonesia dan Kota terpadat di luar pulau Jawa.
Secara geografis, kota ini menjadi pintu gerbang utama pulau Sumatera, tepatnya kurang lebih 165 km sebelah barat laut Jakarta, memiliki andil penting dalam jalur transportasi darat dan aktivitas pendistribusian logistik dari Jawamenuju Sumatera maupun sebaliknya.
Seiring perkembangannya,
kecepatan pertumbuhan penduduk melonjak cukup tinggi sejak lima tahun terakhir.
Pertumbuhan bahkan mencapai 1,1 persen per tahun, dengan penduduk Bandar
Lampung yang membengkak dari 800.000 jiwa menjadi 1,2 juta jiwa, Hal itu mulai
memicu pertumbuhan kota ini ke arah barat hingga Gedong Tataan; ke timur hingga
Tanjung Bintang dan Bergen; serta ke utara hingga Kecamatan Natar. Pada tahun
1986-1989, Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum telah
merancang konsep pengembangan Kota Bandar Lampung yang disebut Bandar Lampung
and Surrounding Area (Blasa). Konsep ini meliputi Kecamatan Gedong Tataan,
Natar, Tanjung Bintang, dan Katibung bagian utara.
Sejalan dengan hal tersebut
mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kota ini. Semakin bertambahnya
jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan akan ekonomi dan kesejahtaraan
penduduknya. Para pengusaha dan pengembang tentu melihat hal tersebut sebagai
peluang besar guna mengembangkan dan memajukan perusahaannya. Mereka berlomba
mendirikan perusahaan-perusahaan, perumahan serta tempat-tempat hiburan dan
rekreasi seperti mall yang juga dapat membatu kebutuhan akan lapangan kerja,
kebutuhan perumahan dan rekreasi di kota ini. Hal ini juga menimbulkan adanya
dampak negatif terhadap kota ini kususnya dibidang tata ruang wilayah. Semakin mendesaknya
kebutuhan akan lahan yang strategis menyebabkan beberapa pengembang tidak lagi
melakukan peninjauan lebih lanjut terhadap peraturan tata wilayah dan kota. Hal
ini menyebabkan kian berkurangnya lahan terbuka hijau yang seharusnya menurut peraturan
perundang-undangan sebesar 30% dari luas lahan kota.
Seperti pada studi kasus di bawah ini, Kota Bandar Lampung berisiko kehilangan Ruang Terbuka Hijau dengan pengalihan fungsi Taman Hutan Kota Way Halim menjadi perkantoran dan ruko.
Hal ini berawal dari diterbitkannya surat hak atas tanah yang diterbitkan pada 1 Februari 2010, HGB Nomor 44/HGB/BPN.18/2010.
Melalui surat ini, pemerintah memberikan hak kepada PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB), untuk mengubah Taman Hutan Kota (THK) Way Halim, dari fungsi awalnya sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi perkantoran dan ruko. Kebijakan pemerintah kota ini menyalahi UU Nomor 26 Tahun 2007 yang mengharuskan setiap kota memiliki RTH sebesar minimal 30% lahan kota.
Fungsi THK Way Halim sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) tertuang dalam Perda Nomor 4 tahun 2004 tentang peruntukan RTH dan SK Walikota No.141 tahun 2009 tentang penetapan areal tanah sebagai Taman Hijau Kota. Dengan dialihfungsikannya Taman Hutan Kota Way Halim menjadi ruang komersial, hal itu akan semakin mengurangi ketersediaan wilayah RTH di Bandar Lampung yang saat ini hanya mencapai 11,08 % dari luas areal kota.
1.2 BANGUNAN KOMERSIL DI LAHAN RTH
Dealer Toyota Auto 2000 diguga kuat melakuan pelanggarana berupa mendirikan bangunan diatas lahan RTH kota Bandar Lampung. Hal ini terbukti dari telah dipanggilnya pihak Dealer oleh DPRD Bandar Lampung sebanyak tiga kali dan tetap masih mangkir.
Bangunan ini dibangun diatas lahan RTH milik pemkot Bandar Lampung sejak tahun 2016. Pada tanggal 12 Oktober 2016 pihak Komite Pemantauan Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) telah malayangkan surat ke DPRD bandar lampung perihal Dasar Hukum Pendirian Bangunan di Lahan Negara karena meyakini sudah sangat sulit show room Auto 2000 yang diduga berdiri megah di lahan milik negara tersebut dapat di relokasi atau dirobohkan.
2.1 PERAN LEMBAGA DAN PEMERINTAH
Tata cara pengendalian dan pengawasan pelaksanaan rencana pembangunan yang dilakukan oleh pimpinan kementerian/lembaga/skpd, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lembaga pemerintah yang menangani bidang pengawasan adalah BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Adapun pengertian dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau yang disingkat BPKP, adalah Lembaga pemerintah nonkementerian Indonesia yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan. BPKP telah mengalami serangkaian metamorfosa yang dimulai pada tahun 1936 berdasarkan besluit Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936 berbentuk Djawatan Akuntan Negara/DAN (Regering Accountantsdienst) dan berada di Bawah Departemen Keuangan yang bertugas melakukan penelitian terhadap pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu.
Kemudian pada tahun 1959-1966 DAN menjadi Unit Eselon I di Lingkungan Departemen Keuangan dengan nama Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan Negara atau yang lebih dikenal sebagai DJPKN. Perubahan struktur dan penataan kelembagaan tersebut terus berjalan pada tahun 1968-1971 hingga akhirnya pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei1983 maka DJPKN ditransformasikan menjadi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan Keppres tersebut maka BPKP secara resmi didaulat untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih dari 30 tahun, Indonesia telah menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan dalam pembangunan. Dengan paradigma pembangunan yang dianut, pertumbuhan ekonomi, paling tidak sebelum terjadi krisis ekonomi, melaju dengan tingkat pertumbuhan hampir mencapai 8% per-tahun. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi tersebut harus ditebus dengan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan. Kerusakan lingkungan (atau faktor yang mempunyai potensi menimbulkan kerusakan lingkungan) tidak menurun bahkan cenderung meningkat yang terlihat pada beberapa sektor strategis di dalam pembangunan Indonesia seperti sektor kehutanan, pertanian dan perikanan maupun pertambangan. Hal ini sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang cenderung mengarah pada pola pengelolaan yang berorientasi jangka pendek.
Dengan demikian jelas bahwa adanya suatu lembaga yang berwibawa yang mampu memberi masukan nasehat kepada Presiden untuk : (a) menerjemahkan dan mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks Indonesia; (b) merumuskan arah pembangunan jangka panjang dalam kerangka pikir berkelanjutan; (c) memadukan pemikiran konservasi lingkungan dan pembangunan; (d) mengakomodasikan pandangan pemerintah, badan usaha dan masyarakat sipil; dan (e) menjabarkan dan memantau pengimplementasian berbagai kesepakatan dan konvensi internasional yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan.
Dalam menjalankan fungsi tersebut, Dewan memiliki tugas pokok :
- Merumuskan dan mensosialisasikan konsep pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional dan daerah, termasuk upaya mengintegrasikan dimensi sosial dan perlindungan daya dukung lingkungan ke dalam kebijakan pembangunan.
- Membantu Presiden dalam pengambilan keputusan dan formulasi kebijakan strategis di bidang pembangunan berkelanjutan.
- Membantu Presiden dalam menindaklanjuti dan melaksanakan pelaksanaan kesepakatan internasional yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan.
SUMBER :
Komentar
Posting Komentar