BAB II
KAJIAN TEORI DAN LANDASAN HUKUM
Pembangunan dalam dirinya
mengandung perubahan besar, yang meliputi perubahan struktur ekonomi, perubahan
fisik wilayah, perubahan pola komsumsi, perubahan sumber alam dan lingkungan
hidup, perubahan sistem nilai. (Koesnadi
Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University
Press, Cet-7, Yogyakarta, Hlm. 49)
Lebih lanjut menurut Emil
Salim, pembangunan adalah mengolah sumber alam dan mengubah lingkungan.
Sehingga pembangunan selalu mengandung resiko terganggunya keselarasan hubungan
antara manusia dengan lingkungan. Oleh sebab itu, pada hakekatnya pembangunan
adalah perubahan lingkungan dan perubahan tersebut dapat mengarah ke segi
positif juga dapat mengarah ke segi negatif. Karena itu pengelolaan lingkungan
hidup perlu diberikan prioritas utama dalam setiap kegiatan pembangunan. Dalam
persoalan ini, umumnya aspek lingkungan sering kurang mendapatkan perhatian
dalam pembangunan.
Perkembangan perkotaan seharusnya
seirama dengan kebutuhan dan pertumbuhannya pun harus direncanakan secara tepat
demi tetap tercapainya kenyamanan hidup dalam lingkungan yang sehat, misalnya
terbentuknya keseimbangan antara ruang terbangun dan RTH secara proporsional,
baik di wilayah perkotaan, pedesaan maupun pada daerah pendukung.
Menurut Pasal 29 Undang-Undang
Penataan Ruang (UUPR), proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga
puluh) persen dari luas wilayah kota. Dalam Penjelasan Pasal 29 dijelaskan,
proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem
kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih
yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika
kota.
Pada prinsipnya, hal tersebut
merupakan upaya, untuk mewujudkan, Hak Asasi Manusi Indonesia, berupa Hak Atas
Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat, sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD
NRI 1945. HAM tersebut WAJIB diwujudkan oleh NEGARA, tentu saja melalui
Aparatur negara, yaitu Pemerintah.
LANDASAN HUKUM
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 (PENATAAN RUANG)
INTISARI :
-Peraturan tentang struktur ruang
dan prasarana wilayah kabupaten yang untuk melayani kegiatan dalam skala
kabupaten.
-Pemerintah kabupaten memiliki
wewenang dalam pengembangan dan pengelolaan kabupaten dan telah disahkan dalam
undang – undang.
-Rencana tata ruang kabupaten
memuat rencana Pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional dan rencana tata ruang provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten
yang bersangkutan.
-Rencana tata ruang wilayah
kabupaten merupakan pedoman dasar bagi pemda dalam pengembangan lokasi untuk
kegiatan pembangunan di daerahnya terutama pada daerah pedesaan.
-Peninjauan kembali atau revisi
terhadap rencana tata ruang untuk mengevaluasi kesesuaian kebutuhan
pembangunan.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 (RUANG TERBUKA HIJAU)
Pada uu no 26 tahun 2007 pasal 17 memuat bahwa proporsi kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Isi uu no 26 thn 2007 pasal 17 :
(1) Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang.
(2) Rencana struktur ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana sistem pusat permukiman dan
rencana sistem jaringan prasarana.
(3) Rencana pola ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peruntukan kawasan lindung dan
kawasan budi daya.
(4) Peruntukan kawasan lindung
dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat 3 meliputi peruntukan
ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi,
pertahanan, dan keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah
ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas
daerah aliran sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang
harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan
antarkegiatan kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi
pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 1 angka 31 Undang-Undang N0 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) sebagai area memanjang / jalur dan / atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah, maupun yang sengaja ditanam. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dibagi menjadi 9:
1.Kawasan hijau pertamanan kota
2.Kawasan Hijau hutan kota
3.Kawasan hijau rekreasi kota
4.Kawasan hijau kegiatan olahraga
5.Kawasan hijau pemakaman
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan; serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/ Prt/ M/ 2008 Tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan.
Tujuan pembangunan RTH pada prinsipnya adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem di wilayah kota.
Lebih lanjut berdasarkan Pasal 2 Permendagri RTHKP, tujuan penataan RTHKP adalah:
a. Menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan.
b. Mewujudkan kesimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan.
c. Meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.
b. Mewujudkan kesimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan.
c. Meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.
Pasal 3 Permendagri RTHKP, fungsi RTHKP adalah: (a) Pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; (b) Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara; (c) Tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati; (d) Pengendali tata air; dan (e) Sarana estetika kota.
Pasal 4 Permen RTHKP, manfaat RTHKP adalah: sarana untuk mencerminkan identitas daerah; sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan; sarana rekreasi aktif dan pasif serta interkasi sosial; meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan; menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah; sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula; sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat; memperbaiki iklim mikro; dan meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.
Pasal 5 Permendagri RTHKP, menjelaskan:
(1) Pembentukan RTHKP disesuaikan dengan bentang alam berdasar aspek biogeografis dan struktur ruang kota serta estetika.
(2) Pembentukan RTHKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencerminkan karakter alam dan/atau budaya setempat yang bernilai ekologis, historik, panorama yang khas dengan tingkat penerapan teknologi.
(2) Pembentukan RTHKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencerminkan karakter alam dan/atau budaya setempat yang bernilai ekologis, historik, panorama yang khas dengan tingkat penerapan teknologi.
Komentar
Posting Komentar